Contoh Kritik Karya Sastra Cerita Pendek
A.
Tema
Pembohongan
Kritik: saya kurang setuju dengan tokoh utama karena dia telah
melakukan kriminalitas yaitu membunuh orang dan telah membohongi istrinya.
Dalam agama Islam, kedua tindakan itu telah dilarang.
Kutipan:
“Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah
barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum
kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang
takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di
antara rumpun irish yang rimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di
salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang
laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada
dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik
pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang
sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar
susah ditaklukkan. Untung saja ini bukanlah kota yang ramai sehingga
perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang
sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di
trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.”(paragraf
32)
B.
Alur
Alur yang digunakan pada cerpen “PERTARUNGAN” adalah alur maju atau
progresif.
Kritik: saya setuju dengan alur maju karena alur maju lebih mudah
dipahami.
C.
Latar
1.
Latar
Tempat
a.
Kota
Kritik:
saya kurang setuju karena pengambaran latar tempat kurang jelas.
Kutipan cerpen:
“Ketika kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau
sedikit keberatan.”(paragraf 1)
Kutipan cerpen: “Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafe favoritku
yang buka sampai larut malam di pusat kota.”(paragraf 16)
b.
Rumah
Kritik: saya
kurang setuju karena pengambaran latar tempat kurang jelas.
Kutipan cerpen:
“Sesampainya dirumah, setelah membuka pintu dengan
serap yang bergantung di ujung dompet kunci mobil, sebagaimana biasa aku
langsung menuju kamar.”(paragraf 22)
2.
Latar
Waktu
a.
Waktu
malam
Kritik:
saya setuju karena pengambaran latar waktu jelas.
Kutipan cerpen:
“Seperti itu pula yang terjadi malam itu.”(paragraf 9)
b.
Waktu
pagi
Kritik:
saya setuju karena pengambaran latar waktu jelas.
Kutipan cerpen:
“Pagi ini kau mengutarakan pernyataan yang hampir saja mencabut jantungku dari
tempatnya berdetak.”(paragraf 12)
3.
Latar
sosial: Cerpen “PERTARUNGAN” ini berlatar belakang masyarakat kota yang dapat
ditinjau dari bahasa yang digunakan.
Kritik:
saya setuju dengan penggunaan bahasa yang sudah baik dan dapat dimengerti.
Kutipan cerpen:
“Kau sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada
pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar
keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin
perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang
yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan
berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kau belokkan ke jalan
lengang yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku
karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah
mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang
kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan
bahagianya aku memilikimu.”(paragraf 2)
D.
Tokoh
dan Penokohan
1.
Aku(tokoh
utama): pembohong, kejam, mempunyai niat baik namun belum dapat
Kritik:
saya kurang setuju dengan tokoh aku karena telah melakukan tindakan
kriminalitas dan telah melanggar ajaran Islam
Kutipan cerpen:
“Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah
barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum
kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang
takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di
antara rumpun irish yang rimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di
salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang
laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada
dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik
pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang
sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar
susah ditaklukkan. Untung saja ini bukanlah kota yang ramai sehingga
perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang
sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di
trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.”(paragraf
32)
2.
Kau(istri
tokoh utama): sangat baik, perhatian, pengertian
Kritik:
saya setuju dengan tokoh kau(istri tokoh utama) karena telah menjadi istri yang
baik kepada suaminya dan anak-anaknya.
Kutipan cerpen:
“Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu
mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak
bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya,
diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu
ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan
meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam.
Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan
apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek,
kesal, ataumarah. Tidak!.”(paragraf 6)
Pertarungan
1.
Pukul sepuluh
malam Jumat kemarin, dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu menyalanya.
Aku tahu bahwa kau tidak pernah peduli dengan nada dering yang kupakai sebab
mengurus dua anak kita yang masih balita jauh lebih menyita perhatianmu. Ketika
kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau sedikit
keberatan.
2.
Kau sempat
membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada pembunuhan
korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun
menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau
penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak
dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh,
kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang
yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau
ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah mengantarku
menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau
hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan
bahagianya aku memilikimu.
3.
Entah kau
menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa
menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.
4.
Ah, kau pasti
lelah sekali, istriku.
5.
Aku tahu,
mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa
mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun
tentu saja itu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku
sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu
hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat
kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.
6.
Ah, betapa
beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah
mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan
banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau
mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu
memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah
kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu
menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi
istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal,
ataumarah. Tidak!
7.
Kau sempat
membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil
pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu,
Sayang: memilikimobil adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang
sepertiku—terlepas apakah kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan
telah mengganti susu formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.
8.
Ah,
ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.
9.
Seperti itu
pula yang terjadi malam itu.
10.
Termasuk
ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui
Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk
kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau
sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.
11.
Aku tahu
kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan
rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda …
tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku
juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita
sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak
dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan
belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah
terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula
yang isi nyatak lagi penuh.
12.
Pagi ini, kau
mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya
berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap
bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku
memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan
seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.
13.
Kau menyimak
ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bola mata.
Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu
kautunjukkan tanpa suara.
14.
Usai
menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang
tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja
karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena
kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil
kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya,
kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin
memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan
mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama
komplek.
15.
Di kampus,
aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid,
semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah
sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang
lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak
pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat
tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya
kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di
Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga
benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau
mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama
mereka acap membuatku ‘lupa diri’.
16.
ya istriku,
aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah.
Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat
untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku
mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya
sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan
memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafe
favoritku yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak
hal.
17.
Tentang
keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat
bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk
mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.
18.
ya Sayang,
sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku
baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air
muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya,
dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat
kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku,
kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka
seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang
bersabarmenimang buah hati di tahun kedua pernikahan.
19.
Ah sudahlah,
aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.
20. ya, kau tahu bukan, kalau malam itu aku
pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul sebelas.
Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam berikutnya,
melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang hendak merampas
tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan kananku terluka
karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung saja banyak orang
yang datang hingga perampok itu keburu kabur.
21. Usai mengantar Ilyas ke bangku bus, aku
langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetir ngebut, Sayang.
22. Sesampainya di rumah, setelah membuka
pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompetkunci mobil,
sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita
sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atas perutmu dan
botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung
kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau,ya, kau masih
terlelap dengan mulut yang setengah menganga.
23. Kau masih ingat, bukan, kalau aku mematikan
lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang meremangkan
bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung
hebat dengan bersenjatakan gairah. Kita mengakhiri permainan satu jam
berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggil kita. Ia pasti merengek
karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.
24. Kau tersenyum manis sekali malam itu.
Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi
kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita
akan membeli rumah baru di perumahan elit di dekat gerbang kota. Kau langsung
memelukku dan kita bertarung lagi.
25. Istriku … jangan tersipu malu seperti
itu.
26. Maafkanlah kalauceritaku jadi ngelantur.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita berbuat baik pada
orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita memiliki rumah
sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang sukses di
Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di koran-koran lokal itu
ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku sebagai
seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga, entah dia sedang
berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat tanggal
lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya yang begitu
tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa (sepertinya ini
yang paling mungkin), ia memberi kita salah satu rumah di Blok D.
27.
Nah, kau
sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau
bertanya tentang tangan kananku yang terluka.
28.
Kau tersipu
malu.
29. Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau tak
melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu
sudah dipadamkan, Sayang.
30. Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat
bangga memiliki suami sepertiku, bukan?
31. Hampir empat bulan kita menempati
rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kita tinggal di
kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas,
penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku
telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.
32.
Ilyas itu tak
pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan
sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak
sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop
ojek, menyelinap di antara rumpun irish yang rimbun, sepuluh
meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara
kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam
itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara
tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak
mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah).
Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untung saja ini bukanlah kota
yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang
ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di
telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang
melaju kencang.
33.
Itu adalah
operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah
mewah itu sudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan
tenang, nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan
cara cuci tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!
34. Sebentar lagi, setelah anak-anak
terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkan tempat tidur dan
berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktu yang mustajab. Dan
keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan
pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu. Aku sudah
berniat untuk jujur kepadamu, Istriku,
Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan
yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi
ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!
35. Kuhela napas beberapa kali. Sudah
terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini,
Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di
tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas
dari lubang pengaitnya.
36. Kau memberi kode agar aku mematikan
lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam, tapi sampai pagi. Sepanjang
pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau pada salah satu halaman di
dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera: membahagiakan istri di malam
Jumat, bukan hanya menuai pahala karena mengamalkan sunah rasul, tapi juga
kuasa membasuh dosa besar.
37. Dosa pembunuhan.(*)
No comments:
Post a Comment